Ini tulisan saya tahun 2005.
Insya Allah mengawali seri tulisan tentang survei dan pemetaan (surveying).
==========
Abstrak
Kegiatan
penentuan posisi yang menghasilkan jaring kontrol horisontal dan
vertikal telah dilaksanakan di Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Secara
historis jaring kontrol pemetaan di Indonesia terbagi menjadi 3 kelompok yaitu
jaring kontrol triangulasi, Doppler dan Global Positioning System (GPS).
Pengadaan jaring kontrol pemetaan tersebut memiliki karakteristik yang spesifik
seiring dengan perkembangan metode pengukuran dan teknologi peralatan survei
yang ada.
Tulisan ini menguraikan secara singkat karakteristik
dan sejarah jaring kontrol pemetaan di Indonesia. Selain itu untuk mengingatkan
kembali tentang panjangnya perjalanan waktu
pengadaan jaring kontrol pemetaan tersebut dan “nilai” yang dimiliki,
sehingga “semangat” dan upaya pemeliharaannya akan senantiasa dilakukan.
1. Pendahuluan
Jaring kontrol pemetaan secara fisik
di lapangan berupa tugu-tugu titik kontrol geodesi dengan bentuk dan dimensi
tertentu yang ditanam secara permanen. Titik-titik kontrol ini terdiri dari
titik kontrol horisontal dan titik kontrol vertikal.
Titik kontrol horisontal adalah
titik di permukaan bumi yang memiliki informasi planimetris. Informasi planimetris
tersebut merupakan posisi horisontal yang dinyatakan dengan lintang (φ) dan
bujur (λ) pada bidang ellipsoid referensi tertentu. Sedangkan titik kontrol
vertikal adalah titik di permukaan bumi yang diketahui ketinggiannya.
Ketinggian titik dinotasikan dengan h dan dihitung terhadap geoid. Ellipsoid
referensi sebagai bidang acuan titik kontrol horisontal dipilih berdasarkan
kriteria kemiripan (paling mendekati) bentuk geoid (Soeprapto, 1992 a).
2. Jaring Kontrol Horisontal
Metode penentuan posisi untuk
pengadaan titik kontrol horisontal cukup beragam. Metode yang pernah dan sedang
digunakan di Indonesia adalah metode triangulasi, metode Doppler dan GPS.
2.1. Jaring Kontrol Triangulasi
Jaring kontrol horisontal dengan
metode triangulasi digunakan selama beberapa abad. Dalam metode ini titik-titik
kontrol horisontal didesain membentuk jaringan atau rangkaian segitiga.
Pengukuran yang dilakukan berupa
pengukuran 1 (satu) sisi sebagai basis, azimuth
salah satu sisi dan semua sudut dalam jaring segitiga tersebut. Sudut merupakan
unsur utama dalam metode triangulasi, sehingga diupayakan seteliti mungkin
sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Dalam hal ini faktor alat ukur sudut yang
digunakan dan pemberian bobot pada proses hitungan perlu mendapatkan perhatian
(Soeprapto, 1992 b).
Indonesia merupakan negara dengan
banyak pulau yang relatif kecil, sehingga sisi-sisi triangulasi utama hanya
berkisar antara 30 s.d. 60 km. Untuk perbandingan, sisi triangulasi utama di
India berkisar 150 s.d. 200 km dan 250 s.d. 500 km, sedangkan Amerika Serikat
di kisaran 100 km.
Jaring Kontrol Triangulasi di
Indonesia pertama kali dilakukan oleh Junghuhn, seorang pegawai perusahaan
perkebunan, pada tahun 1834 – 1848. Pengukuran dilakukan dari puncak-puncak
gunung ke titik-titik yang lebih rendah di sekitar Bandung, Karawang dan pantai
utara Jawa. Sedangkan pemerintah Hindia Belanda mengawali pekerjaan triangulasi
di daerah Cirebon pada tahun 1854. Jaring kontrol triangulasi Jawa Barat
selesai pada tahun 1870.
Jaring triangulasi Jawa Barat
dilanjutkan ke Sumatera Selatan dengan melewati pulau Krakatau, Sangean dan
Tabesi. Sedangkan triangulasi Cirebon dilanjutkan sampai ke Besuki dan
Banyuwangi di Jawa Timur dengan melalui Tegal, Pekalongan dan Semarang di Jawa
Tengah yang diselesaikan pada tahun 1874. Pengukuran jaring triangulasi pulau
Jawa-Madura yang dipimpin Dr. Oudemans ini secara resmi diakhiri pada tahun
1880.
Tahun 1883 dibentuk Brigade
Triangulasi sebagai bagian dari Dinas Topografi Militer yang dipimpin Dr.
J.J.A. Mueller dengan tugas awal melaksanakan kegiatan pemetaan di Sumatera
Barat. Tahun 1913 Brigade Triangulasi diberikan tambahan tugas berupa kegiatan
survei geodesi di wilayah Hindia Belanda. Tugas tambahan tersebut diantaranya
adalah pengadaan jaring triangulasi di Sumatera, Bangka, Sulawesi dan Sunda
Kecil.
Jaring triangulasi Hindia Belanda
memiliki sistem koordinat dan titik datum sendiri-sendiri. Hal ini disebabkan
teknologi peralatan belum mampu menyatukan wilayah-wilayah yang berjauhan,
sehingga jaring triangulasi tersebut dibagi menjadi : (a) Triangulasi pulau Jawa-Madura yang dihitung
berdasarkan datum gunung Genuk Jawa Tengah (P.520) yang diukur pada tahun 1854-1880
; (b) Triangulasi pantai barat Sumatera dengan datum Padang (1883-1896) ; (c) Triangulasi
Sumatera Selatan berdasarkan datum G.Dempo (1893-1909) ; (d) Triangulasi pantai
timur Sumatera berdasarkan datum Serati (1907-1916) ; (e) Triangulasi kepulauan
Sunda Kecil, Bali dan Lombok berdasarkan datum G.Genuk (1912-1918) ; (f)
Triangulasi Sulawesi berdasarkan datum Monconglowe (1907-1916) ; (g)
Triangulasi pulau Bangka berdasarkan datum Rimpuh (1917) ; (h) Triangulasi Aceh
berdasarkan datum Padang (1931) ; (i) Triangulasi kepulauan Riau dan Lingga
berdasarkan datum Rimpuh (1935) ; dan (j) Triangulasi Kalimantan Tenggara
berdasarkan datum G.Segara (1933-1936).
Jaring triangulasi Jawa-Madura
sejumlah 137 titik primer dan 723 titik sekunder, sedangkan jaring triangulasi
Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya terdiri dari 144 titik primer, 161 titik
sekunder dan 2659 titik sekunder. Pengadaan jaring triangulasi Sulawesi di
bawah pimpinan Prof. Ir. J.H.G. Schepers menghasilkan 74 titik primer, 92 titik
sekunder dan 1081 titik tersier.
Perbedaan datum tersebut sering menimbulkan
keragu-raguan dan masalah. Datum dalam pengertian praktis didefinisikan sebagai
titik awal dari suatu sistem perhitungan. Penetapan datum ditujukan untuk
menentukan skala yang benar, bentuk, orientasi dan kedudukan bidang ellipsoid
referensi terhadap geosenter. Oleh karena itu di luar kesalahan pengukuran,
suatu titik yang dihitung dari datum yang berbeda akan menghasilkan informasi
koordinat yang berlainan pula. Untuk itu jaring kontrol tersebut harus
diintegrasikan dalam satu sistem, sehingga diperlukan transformasi satu datum
ke sistem datum yang dipilih. Pada tahun 1931 dilakukan hitungan ulang untuk
menyatukan 3 sistem triangulasi Sumatera (Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan
Sumatera Timur) dengan sistem Jawa dan Nusa Tenggara. Dan pada akhir tahun 1938
sistem triangulasi Bangka dihubungkan dengan sistem Malaya (semenanjung
Malaysia) melalui triangulasi Riau dan Lingga (Schepers, 1939 dalam Abidin dkk,
2002).
Pada saat Perang Dunia II tidak ada
kegiatan penting yang dapat dicatat dalam pengadaan jaring kontrol triangulasi. Dan pada tahun
1960 pengukuran jaring triangulasi dilanjutkan hingga pulau Flores oleh Dinas
Topografi Angkatan Darat Republik Indonesia.
Pembuatan jaring kontrol triangulasi
banyak menghadapi hambatan karena adanya
persyaratan intervisibility (saling terlihat) antar titik. Kondisi alam
terutama cuaca dan keterbatasan kemampuan alat teodolit sangat berpengaruh pada
hasil dan kecepatan pengukuran, sehingga jaring triangulasi tidak dapat
disatukan terutama triangulasi antar pulau.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi
tersebut mendorong pemerintah melakukan perbaikan dan penyempurnaan sejak PELITA
I tahun 1969, sehingga teknologi yang lebih baru mulai dihadirkan. Tahun 1970
terbentuk kerjasama pemerintah Indonesia dan Australia yang memanfaatkan
teknologi EDM (Electronic Distance Measurement) dan Aerodist
untuk menghubungkan sistem triangulasi Sumatera dengan triangulasi
Riau-Bangka-Belitung. Selain itu juga dilakukan perluasan jaring triangulasi
Kalimantan Barat dengan metode jaring poligon dan trilaterasi (Soeprapto, 1992
a).
2.2. Jaring Kontrol Doppler
Tahun 1974 Bakosurtanal (Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) mulai melakukan pengukuran titik
kontrol horisontal dengan metode ekstraterestrial menggunakan teknologi satelit.
Pada saat itu jasa satelit yang dimanfaatkan adalah NNSS (Navy Navigation
Satellite System) yang lebih dikenal dengan nama satelit navigasi TRANSIT (Doppler).
Metode penentuan posisi ini disebut dengan metode Doppler dan titik-titik
kontrol yang dihasilkan dinamakan dengan titik Doppler.
Faktor penghambat dalam jaring
kontrol triangulasi relatif dapat diatasi dengan metode Doppler. Syarat intervisibility
antar titik kontrol tidak diperlukan lagi dalam metode ini, selain itu
jangkauan tidak terbatas, faktor cuaca menjadi minimal dan kecepatan pengukuran
meningkat drastis. Pengukuran
triangulasi antar puncak gunung dapat memakan waktu sampai berbulan-bulan,
sedangkan metode Doppler hanya memerlukan waktu beberapa hari. Ketelitian
metode Doppler berkisar antara 30 cm s.d. 1 meter untuk setiap kilometer
rentang pengukuran.
Sampai akhir tahun 1986 telah
tersebar 966 titik Doppler di wilayah Indonesia. Distribusi titik Doppler
diantaranya meliputi Irian sejumlah 125 titik ; Maluku sebanyak 231 titik ;
kepuluan sebelah barat Sumatera sebanyak 76 titik ; kepulauan timur Sumatera
sejumlah 93 titik ; Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur sebanyak 231 titik ; Jawa, Bali dan Lombok sebanyak 79 titik.
Sebagian dari titik Doppler di
Indonesia ditentukan dengan cara penentuan posisi titik (point positioning)
yang menggunakan data orbit satelit teliti (precise ephemeris),
sedangkan sebagian yang lain dengan metode translokasi yang menggunakan broadcast
ephemeris (Abidin dkk, 2002). Hal ini mengakibatkan ketelitian jaring titik
Doppler menjadi tidak homogen, meskipun jaring ini telah menyatukan Indonesia dalam
satu sistem dan datum yang sama.
Metode Doppler juga banyak
dimanfaatkan untuk penentuan batas negara seperti perbatasan Indonesia-Malaysia
pada tahun 1979 sebanyak 40 titik dan perbatasan Indonesia-Papua Nugini pada
tahun 1986 sebanyak 22 titik.
2.3. Jaring Kontrol GPS
Teknologi penentuan posisi secara
ekstraterestrial makin berkembang, dan dalam beberapa tahun terakhir sampai
saat ini metode GPS merupakan pilihan yang paling banyak digunakan. Ketelitian
metode GPS dapat mencapai 0,1 ppm untuk jarak 10 s.d. 1.000 km atau 0,1 mm per
1 km. Selain ketelitiannya lebih tinggi dari metode Doppler, metode GPS relatif
lebih cepat waktu pengamatannya yang hanya membutuhkan waktu beberapa jam
(Soeprapto, 1992 a).
Pemanfaatan teknologi GPS
memungkinkan penentuan posisi horisontal di seluruh muka bumi, baik darat, laut
maupun udara. Selain dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu singkat dengan
ketelitian tinggi, juga tidak ada masalah dengan bidang ellipsoid sebagai acuan
yang dipakai untuk hitungan φ dan λ.
Jaring kontrol horisontal
menggunakan teknologi GPS ini diselenggarakan oleh Bakosurtanal mulai tahun
1989. Awal mulanya pengamatan satelit NAVSTAR-GPS (Navigation System Using
Time And Ranging – Global Positioning System) ini dimanfaatkan untuk
pemantauan gerak kerak bumi (geodinamika) di Sumatera. Tahun 1992 jaringan ini
diperluas ke bagian timur Indonesia hingga Irian Jaya. Jaringan ini kemudian
dikenal dengan Zeroth Order Geodetic Network in Indonesia (ZOGNI), yaitu
suatu jaringan kontrol horisontal teliti yang homogen atau sering disebut
dengan jaring kerangka Orde 0 (nol).
Kerangka dasar nasional orde 0
berjumlah sekitar 60 titik yang ditempatkan pada setiap ibukota provinsi serta
kota-kota besar di sekitarnya. Kerangka dasar orde 0 ini selanjutnya dirapatkan
dengan titik-titik GPS Orde 1 yang berjumlah sekitar 459 buah. Distribusi titik
orde 1 meliputi setiap kabupaten di daerah-daerah yang bersangkutan. Selanjutnya
kerangka orde 2 dan orde 3 sebagai densifikasinya diselenggarakan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN).
Bakosurtanal juga telah membangun
jaringan stasiun tetap GPS yang beroperasi secara kontinyu selama 24 jam dengan
receiver GPS tipe geodetik 2 frekuensi (Abidin dkk, 2002). Saat ini stasiun
tetap GPS telah terdistribusi di pulau Sumatera, Jawa, kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi dan
Irian. Distribusi stasiun tetap GPS dan contoh pilar dalam 3 tipe dapat dilihat
pada gambar di bawah ini (Bakosurtanal, 2003).
3. Jaring Kontrol Vertikal
Pengadaan jaring kontrol vertikal di
Indonesia dimulai pada tahun 1925-1930 di Jawa Barat dan sebagian wilayah Jawa
Tengah. Jaring titik kontrol vertikal tersebut dikenal dengan nama titik-titik NWP
(Primaire Naukeurigheids Waterpassing) yang mengambil rute sepanjang
jalan-jalan raya sejauh 4.500 km. Pengukuran sipat datar teliti tersebut
dilaksanakan oleh Dinas Topografi di bawah pimpinan Prof. Ir. J.H.G. Schepers
dan telah berhasil membangun 2.083 titik tinggi. Acuan tinggi yang dipakai
adalah permukaan laut rata-rata di Tanjung Priok yang diamati pada tahun 1926
(Datum Priok).
Sedangkan untuk daerah di luar pulau
Jawa boleh dikatakan tidak ada pengukuran jaring kontrol vertikal secara
sistematis. Beberapa pengukuran yang pernah dilakukan antara lain di Sulawesi
Selatan sepanjang 418 km pada tahun 1928, Minahasa (Sulawesi Utara) sepanjang 182
km pada tahun 1925 dan pulau Bangka sepanjang 993 km pada tahun 1930.
Tahun 1957, 1958 dan 1961 Direktorat
Topografi Angkatan Darat melakukan pengukuran jaring kontrol vertikal tambahan
di beberapa daerah di pulau Jawa sepanjang 900 km dengan 180 titik tinggi
(Mira, 1980 dalam Abidin dkk, 2002). Tahun 1980 baru dimulai lagi pengadaan
jaring kontrol vertikal orde 1 (sipat datar teliti) untuk Jawa secara
menyeluruh. Jaring titik kontrol ini sepanjang 4.700 km dengan 1.532 tugu titik
tinggi (benchmark). Tahun 1987 jaring kontrol vertikal orde 1
dilanjutkan ke pulau Bali sebanyak 69 benchmark (BM). Sedangkan jaring
kontrol vertikal orde 2 dilaksanakan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi
sampai akhir tahun 1990. Panjang jalur masing-masing 6.500 km, 2000 km dan
2.500 km.
Pengadaan jaring kontrol vertikal
memang lebih lambat daripada jaring kontrol horisontal, mengingat masih
digunakannya metode konvensional yaitu sipat datar yang cukup banyak menyita
waktu dan tenaga. Tahun 1981 pernah dicoba pengukuran tinggi dengan metode motorized
levelling. Metode ini sama dengan metode sipat datar, tetapi menggunakan 3
buah mobil untuk meletakkan alat sipat datar dan target. Kecepatan kerja dapat
ditingkatkan sampai dengan 3-4 kali dibandingkan dengan sipat datar
konvensional yang dilakukan dengan jalan kaki. Permasalahan terbesar yang
dihadapi dalam metode ini adalah diperlukannya jalur jalan yang lebar dan
mulus, sehingga relatif sulit diterapkan di daerah-daerah tertentu.
Tahun 1983 diterapkan pengukuran
tinggi dengan metode trigonometric levelling menggunakan total
station. Metode ini merupakan kombinasi pengukuran jarak elektronis dan pengukuran
sudut vertikal. Meskipun sangat menguntungkan untuk daerah berbukit dan jalur
jalan berkelok-kelok, metode ini dirasakan terlalu mahal selain hasilnya kurang
teliti.
Teknologi GPS sebenarnya
memungkinkan untuk pengukuran tinggi, namun belum menjadi jawaban yang
memuaskan karena ketinggian titik direferensikan pada geoid, sedangkan
ketinggian dengan GPS dihitung terhadap bidang ellipsoid referensi. Oleh karena
itu masih diperlukan proses hitungan untuk mengkonversinya dengan data undulasi
geoid yang memerlukan pengukuran lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka
metode konvensional sipat datar masih menjadi pilihan terbaik untuk pengadaan
jaring kontrol vertikal.
4. Biaya Pengadaan Jaring Kontrol Pemetaan
Secara ekonomis biaya pengadaan
titik triangulasi dan titik Doppler tidak lagi menjadi mahal jika menggunakan
standar nilai uang saat ini. Namun secara umum titik-titik kontrol geodesi memiliki
harga yang secara relatif tidak murah. Sebagai contoh Bakosurtanal menentukan tarif
produk pengukuran dan pemetaan untuk survei geodesi sebagaimana tabel di bawah
ini.
No
|
Produk
|
Satuan
|
Tarif
(Rupiah)
|
1
|
Titik Tinggi Geodesi (TTG)
|
Titik
|
25.000,00
|
2
|
Global Positioning System (GPS)
|
Titik
|
25.000,00
|
3
|
Gaya Berat
|
Titik
|
25.000,00
|
4
|
Stasiun Tetap GPS
|
Hari
|
200.000,00
|
5
|
Daftar Stasiun Jaring Kontrol Horisontal Nasional
|
Buku
|
25.000,00
|
6
|
Klasifikasi, Standar Survei dan Spesifikasi Survei Kontrol Geodesi
|
Buku
|
25.000,00
|
7
|
Informasi Jaring Kontrol Vertikal Nasional Sumatera
|
Buku
|
25.000,00
|
8
|
Petunjuk untuk Operator Gaya Barat
|
Buku
|
25.000,00
|
9
|
Survei GPS
|
Hari
|
1.000.000,00
|
10
|
Survei GPS
|
Titik
|
500.000,00
|
11
|
Survei Sipat Datar
|
Km Lari
|
1.000.000,00
|
12
|
Survei Gaya Berat
|
Hari
|
1.000.000,00
|
13
|
Survei Gaya Berat
|
Titik
|
500.000,00
|
14
|
Fasilitas Data Prosessing Hasil Survei
|
Hari
|
1.000.000,00
|
Sumber : Bakosurtanal (2000)
5. Manfaat Jaring Kontrol Pemetaan
Jaring kontrol pemetaan pada awalnya
hanya untuk keperluan kerangka dalam pemetaan. Sejalan dengan perkembangan ilmu
geodesi, maka titik-titik kontrol pemetaan tersebut memiliki fungsi yang
semakin beragam. Salah satu kegunaannya adalah untuk kegiatan pemantauan
deformasi kerak bumi maupun hasil budi daya manusia (misal : gedung, jembatan,
bendungan dsb).
Indonesia merupakan negara dengan
wilayah yang mengalami pergerakan tektonik aktif, karena terletak di pertemuan
3 lempeng benua yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng
Eurasia. Jalur aktif tersebut terletak di lautan sebelah barat Sumatera,
selatan pulau Jawa sampai ke kepulauan Nusa Tenggara. Dinamika gerakan lempeng
dapat diukur berdasarkan titik-titik kontrol geodesi, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk studi gempa bumi, mitigasi bencana, early warning system
dsb.
Sistem pemantauan gerakan kerak bumi
tersebut pada dasarnya tidak untuk menentukan koordinat absolut suatu titik,
melainkan dengan mengamati posisi relatif antar stasiun pemantau berdasarkan
waktu. Oleh karena itu diperlukan pengukuran secara periodik dengan ketelitian
tinggi. Hal ini relatif tidak mungkin dipenuhi oleh teknologi triangulasi
konvensional, apalagi dengan makin berkembangnya pemanfaatan teknologi GPS.
Namun demikian titik-titik triangulasi Sumatera yang terletak di sepanjang
pegunungan Bukit Barisan merupakan “monumen” yang sangat berharga, mengingat
informasi koordinatnya digunakan untuk penelitian rentang patahan Sumatera.
Pada bulan Agustus s.d. September
1989 dilaksanakan Global Positioning System for Geodynamic Project in
Sumatera (GPS-GPS). Proyek ini merupakan survei deformasi kerak bumi dengan
pengamatan GPS di Sumatera Utara, Sumatera Barat termasuk kepulauan di sebelah
barat Sumatera (Nias, Siberut, Pini dll) dan Riau yang mencakup luasan sekitar
400 km2. Pengamatan dilakukan pada 11 titik triangulasi, 7 titik
Doppler dan 14 titik baru dengan 12 buah GPS Receiver. Pengamatan yang
sama diulangi lagi pada bulan Juli s.d. Agustus 1990 pada stasiun-stasiun yang
sama ditambah dengan beberapa stasiun triangulasi lainnya. Titik-titik kontrol
horisontal dan vertikal juga berperan untuk survei deformasi skala kecil
(bendungan, jembatan, bangunan purbakala dsb) yang dipantau pergeserannya
secara horisontal maupun vertikal (Soeprapto, 1992 a).
Selain untuk pemetaan secara umum (kontrol
geodetik) dan studi geodinamika, jaring kontrol geodesi tersebut juga dimanfaatkan
dalam bidang geodesi global, navigasi dan geodesi kelautan (Abidin, 2001).
6. Penutup
Sejarah panjang penentuan
posisi untuk pengadaan jaring kontrol
pemetaan di Indonesia seharusnya tidak hanya menjadi “cerita” dalam literatur
dan buku-buku pengukuran dan pemetaan, melainkan perlu ada kesadaran tentang
“nilai” tugu titik-titik kontrol tersebut secara ekonomis maupun non ekonomis.
Nilai tersebut diterjemahkan dalam
kerangka historis juga pemanfaatan lebih lanjut untuk pengembangan fungsi
titik-titik kontrol geodesi. Pengembangan fungsi ini tidak terbatas sebagai
jaring kontrol pemetaan, tetapi juga dalam rangka pemanfaatan di bidang lainnya.
Penggunaan titik-titik kontrol horisontal dan vertikal secara lintas sektoral akan mendorong upaya
pemeliharaan yang lebih sinergis.
7. Pustaka
Abidin, H.Z. (2001) . Geodesi
Satelit , Jakarta : Pradnya Paramita.
Abidin, H.Z. , A.Jones and J.Kahar (2002) . Survei dengan
GPS , Jakarta : Pradnya Paramita.
Bakosurtanal (2000). Survei
Geodesi , http://www.bakosurtanal.go.id/.
__________ (2003). Geodesi dan Geodinamika , http://www.bakosurtanal.go.id/.
Soeprapto (1992 a) . Pengantar
Survei Geodesi , Yogyakarta : Jurusan Teknik Geodesi FT UGM.
_______ (1992 b) . Metode
Penentuan dan Hitungan Titik Kontrol Horisontal , Yogyakarta : Jurusan Teknik Geodesi FT UGM.